Tuesday, June 16, 2020

SEKOLAH DI TENGAH WABAH: ANTARA HARAPAN DAN ANCAMAN

Persebaran Covid-19 di Indonesia sampai hari ini belum berkahir. Sejak Pemerintah menetapkan Indonesia mengalami bencana nonalam, jumlah kasus positif Covid-19 terus meningkat. Tren Nasional (akumulasi data) yang tunjukkan oleh Gugus Tugas Percepatan Penanganan  Covid-19 pada Selasa (16/06), sebanyak 40.400 kasus.  Atas kondisi ini, masyarakat tidak bisa leluasa menjalani aktivitasnya. Tak terkecuali para praktisi pendidikan. Mereka terpaksa melakukan rutinitasnya dengan gerakan Kerja Dari Rumah (KDR) masing-masing. Begitupun juga dengan rangkaian agenda dalam satuan pendidikan, semuanya dilalui secara virtual.

Memasuki tahun ajaran baru, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berencana mengaktifkan sekolah pada 13 Juli mendatang. Sebagai langkah antisipatif penyebaran virus korona, sudah dikeluarkan Surat Edaran Kemendikbud Nomor 4 tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan dalam Masa Darurat Penyebaran Covid-19. Kebijakan ini masih menuai kontroversi dari beberapa pihak. Ketua Umum PP Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyatakan bahwa pendidikan di Indonesia masih belum bisa diaktifkan lantaran kasus yang terjadi belum menunjukkan penurunan yang signifikan. Sementara itu, hasil angket yang dibagikan oleh Komisioner Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) beberapa waktu yang lalu pada publik secara daring, menunjukkan dari 196.546 responden orang tua tidak setuju (menolak) sekolah dibuka pada Juli 2020. Orang tua atau wali murid masih khawatir bahwa penularan di sekolah rentan terjadi. Retno Listyarti, Komisioner KPAI Bidang Pendidikan memberikan pertimbangan agar kebijakan Kemendikbud tersebut dikaji ulang karena situasi kurva Covid-19 masih terus meningkat, sehingga diperlukan kehati-hatian untuk membuka sekolah bagi anak-anak. Kritikan senada disampaikan oleh Satriwan Salim, Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia FSGI. Ia menyampaikan bahwa pemberlakuan aktif kembali sekolah pada 13 Juli masih belum pantas diambil sebagai kebijakan. Hal itu mengingat proses penyebaran virus masih terus terjadi. Sekolah hanya akan menjadi claster penularan baru. Selain itu, masih banyak sekolah yang belum memiliki sarana dan prasarana lengkap sebagaimana protokol kesehatan yang diberlakukan. Maka demi keamanan dan keselamatan anak, guru, dan karyawan di satuan pendidikan, Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) perlu diperpanjang dan sambil lalu mengevaluasi proses pembelajaran yang sudah dilalui.

Di tengah wabah ini, yang perlu diutamakan adalah keselamatan dan kesehatan peserta didik. Anak-anak sangat rentan terpapar, oleh karena itu keputusan meliburkan sekolah merupakan langkah kebijakan yang tepat untuk memutus rantai penyebaran virus corona. Meskipun demikian, Pemerintah juga perlu mewaspadai angka putus sekolah yang akan terjadi. Ketika peran orang tua sudah tidak mampu lagi membayar biaya pendidikan anaknya, pandemi membatasi orang tua untuk memutar roda ekonomi, tentu bukan hal yang tidak mungkin putus sekolah akan menghantui.

Banyak pihak berharap bahwa dalam menjalankan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) di masa pandemi ini, fasilitas bagi praktisi pendidikan, terutama peserta didik harus terpenuhi dengan maksimal. Baik berupa subsidi laptop, gawai, paket data, pulsa, dan kebutuhan lainnya, yang sekiranya bisa menunjang peserta didik untuk aktif mengikuti KBM secara daring. Karena tidak semua peserta didik memiliki fasilitas yang dibutuhkan PJJ. Koneksi internet juga merupakan hal yang penting untuk efektivitas KBM. Bagi kalangan yang berada di daerah tertinggal, terpencil, terpelosok (3T), yang menjadi sulitnya KBM berjalan efektif karena keterbatasan akses internet. Sehingga ada guru yang rela berkeliling rumah muridnya di desa untuk memberi ilmu kepada mereka. Atas kondisi ini, hak pendidikan bagi pendidik dan peserta didik yang ditanggung oleh negara betul-betul ditunaikan. Setidaknya melalui anggaran Rp. 405 Miliar yang disediakan, harus dapat terdistribusikan secara merata dan berkelanjutan. Oleh karena itu, Jangan sampai new normal yang belakangan didengungkan dan ditengarai menjadi sebagian tolok ukur pemberlakuan aktivitas sekolah mengakibatkan new problem dan (apalagi) new discrimination.

Indonesia perlu belajar dari negara tetangga dalam hal pendidikan di tengah pandemi, seperti Finlandia dan Australia. Kedua negara maju dalam pendidikan itu sudah terbiasa mengaplikasikan KBM berbasis e-learning dan melalui media sosial jauh sebelum terjadinya pandemi. Sarana prasarana dan sistem pendidikannya sangat mendukung berjalannya proses belajar mengajar dengan sangat baik. Peserta didik dan pendidik yang tak memiliki fasilitas seperti laptop, gawai dan sejenisnya difasilitasi oleh pihak sekolah dan belajar mengajar dengan menggunakan fasilitas internet merupakan hal yang wajar. Dalam membuat kebijakan untuk pendidikan di tengah wabah seperti saat ini, negara seperti Finlandia dan Korea selatan, sempat membuka sekolah. Namun setelah tidak berlangsung lama. Beberapa waktu berjalan, ditemukan puluhan siswa yang positif. Akhirnya sekolah ditutup kembali. Tentunya bukan tanpa tindakan preventif sebelumnya, juga sudah disiapkan skenario yang lebih bagus daripada yang telah disiapkan pemerintah Indonesia.

Memasuki era industri 4.0, sudah seyogyanya pendidik tidak saja meningkatkan daya kreativitas peserta didiknya, tetapi harus paham betul cara memanfaatkan teknologi sebagai model pembelajaran yang terbarukan. Satuan pendidikan harus memiliki fasilitas pendukung yang memadai untuk mendorong percepatan dan pencapaian tujuan pendidikan. Kemudian yang jauh lebih penting dari hal tersebut, pemerintah cepat dan tanggap dalam memberikan dukungan penuh dan tidak main-main dalam mengatur regulasi dan anggaran. Stigma publik “berganti menteri, bergenti regulasi” harus diganti dengan “berganti hari, berganti prestasi.” Sehingga ranking pendidikan Indonesia di kancah internasional, minimal tingkal Asean tidak lagi di urutan ke-7. Harus mampu merebut posisi Singapura yang bertengger diurutan pertama.

Oleh karena itu, kondisi ini harus menjadi perhatian besar pemangku kebijakan. Peran serta praktisi pendidikan hingga orang tua mampu mengisi celah yang bisa membuat pendidikan kita merosot. Secepat mungkin berbenah agar tercipta pendidikan sebagaimana harapan bersama. Marilah jadikan sekolah sebagai tempat mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan mencetak generasi yang feodal. Ingatlah bahwa setiap tempat adalah sekolah, setiap orang adalah guru, dan setiap buku adalah ilmu.

 


No comments:

Post a Comment